Kamis, 16 September 2010

Puasa Syawal: Puasa Seperti Setahun Penuh

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ …

“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.

Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)

“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan ?

Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.

Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)

Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu

Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.

Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.

Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!

Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah

Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)

Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Jumat, 27 Agustus 2010

Jangan Putus Asa


            Jangan putus asa, karena putus asa bukan akhlaq Islam dan kaum muslimin. Kenyataan hari adalah impian hari kemarin dan impian hari ini adalah kenyataan hari esok. Masih terbentang waktu yang amat panjang dihadapan kita.
            Meskipun kerusakan moral pada hari ini dirasa semakin menjadi dan merajalela namun yakinilah bahwa masih ada unsur-unsur baik yang selamat yang didalamnya menyimpan potensi yang sangat besar yang siap didayagunakan untuk membangkitkan kesadaran umat akan kebenaran.
            Camkanlah pihak yang lemah takkan selalu berada dalam kelemahan selamanya, begitupun pihak yang kuat tak selamanya dalam kondisi kuat.

 “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS Ali Imron:140)

 “dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)” (QS Al-Qashash : 5)..

            Perputaran waktu, senantiasa digerakan oleh berbagai peristiwa-peristiwa besar. Berbagai kesempatan senantiasa terbuka bagi seluruh akitivitas dan karya-karya agung. Tiada satupun pengorbanan suci menjadi percuma dan tiada pengorbanan jiwa dan raga kecuali berbuah dalam alam nyata.
Dunia tengah menanti kalian wahai mujahid da’wah, akankah kalian biarkan masyarakat merangkak dalam kegelapan tanpa cahaya, mereka terjerembab dalam lumpur pekat penuh kenistaan hingga hidup mereka penuh dengan hingar bingar kemaksiatan yang memporak porandakan seluruh sendi kehidupan. Mereka saling bunuh saling tipu, tindas menindas demi memenuhi kepuasan nafsu yang tidak pernah terpuaskan. Bukankah prilaku buruk mereka juga berdampak kepada kita, pantaskah kita mengeluh dan mengeluh karena sebenarnya sebagian solusi ada ditangan kita.
Akankah kita berdiam diri dari kenyataan tadi, Apakah nurani ini telah sirna sehingga tidak lagi tampak dihadapan kita problemamatika umat, bukankah terngiang ditelinga kita sensitifitas Nabiyulloh ‘Isa A.S ketika melihat gejala kekufuran ditengah kaumnya

Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berserah diri. Q.S. 3:52).

…ataukah kita kita merasa tidak berdaya sebelum memulai usaha, kita kedepankan berbagai halangan dan kesulitan sebelum kita masuk kemedan laga sebenarnya, atau kita merasa bangga dengan status kemujahidan bahwa status tersebut jaminan keselamatan, tidak ada dalam sejarah seorang mujahid tanpa  berjihad dan tidak ada kebesaran tanpa tetesan darah dan air mata. Ataukah kita terpenjarakan oleh gelimang dunia kita. Ataukah kita khawatir perjuangan dan dakwah kita akan dinikmati oleh segelintir oknum “penikmat dakwah”, andaikan itu benar terjadi biarkanlah oknum tersebut menikmati sampah perjuangan sedangkan mujahid dakwah menikmati semerbak jihad, karena Alloh SWT tidak pernah salah dalam menghitung.

Kenapa ditengah banyaknya kader dan sarana dakwah yang berlebih seakan kita kekurangan kader dan tidak memiliki apa-apa, apakah keberkahan dakwah kita pada hari ini hilang ditelan badai kepentingan, sebagian kita merasa putus asa, militansi kita menjadi memudar, semangat kita semakin terkoyak, pengorbanan kita semakin kita “hitung-hitung” dan langkah-langkah kita semakin berat. Cerita kita hari ini bukan cerita akhirat tapi cerita dunia, Bangga kita akan istana, kendaraan, istri nan cantik jelita dan makan mewah lebih kita banggakan dibanding cerita perjuangan dan pengorbanan. Tidak ada kaum yang hebat karena mengumbar syahwat dan tidak ada bangsa besar dibangun diatas selera rendahan. Akankah keteladanan ditengah pemimpin dakwah pada hari ini mulai meredup ? , apakah orientasi dakwah kita pada hari ini tidak lagi Ridho Alloh SWT?, akankah sebagian kita berlomba dalam urusan dunia ? Apakah politik kita pada hari ini politik murni yang hanya berorientasi pada kekuasaan semata ?. Kalau itu benar terjadi maka katakan selamat tinggal kemulian dan kehormatan.
Tapi sekali lagi jangan putus asa, bukankah perjalanan dakwah perjalanan panjang penuh dinamika, perjalanan yang dipenuhi oleh banyak manusia dengan aneka ragam tujuan, namun Alloh SWT akan melakukan penyaringan hingga menjadi jelas siapa diantara mereka yang mujahid sejati dan siapa diantara mereka yang mujahid imitasi. Mari kobarkan semangat juang hingga akhir hayat dikandung badan, luruskan niat dan tujuan hingga beroleh kemengan dengan penuh keberkahan.

“ Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya jika dikatakan kepada kamu “Berangkatlah berperang dijalan Alloh” kamu merasa berat dan ingin tinggal ditempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti kehidupan diakhirat ? padahal kehidupan dunia jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Alloh akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih, dan digantikannya kamu dengan kaum yang lain dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepadanya sedikitpun, dan Alloh maha kuasa atas segala sesuatu.” QS At Taubah: 38-39)


Dikeluarkan Oleh:
Deputi Kaderisasi  Bidang Pembinaan  DKI Jakarta

Jumat, 20 Agustus 2010

Ya Allah, Kenapa Ini Terjadi ???

Ya Allah, kenapa ini terjadi? Kenapa Engkau menimpakan kesedihan ini dalam hidupku? Sanggupkah aku menahan penderitaan ini Ya Allah? Begitulah kita merintih ketika masalah menghampiri hidup kita. Apabila kita diberi kenikmatan dan kebahagiaan oleh Allah maka kita menganggap Allah menyayangi kita tetapi jika kita diberi masalah dan kesalahan maka kita menganggap Allah kejam pada diri kita.

'Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakanNya dan diberiNya kesenangan maka ia berkata 'Tuhanku telah memuliakanku' tetapi apabila Tuhannya mengujinya dengan memberi kesedihan, maka ia berkata 'Tuhanku telah menghinakanku' (QS. al Fajr : 15-16).

Bila kita diberikan berkelimpahan kenikmatan begitulah cara Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberi kebahagiaan sekaligus ujian dalam hidup kita tetapi bila kita diberikan masalah dan kesedihan bukan berarti Allah murka, bukan pula Allah membenci. Allah tidak pernah menganiaya kita melainkan diri kita sendiri yang menganiaya.

'Sesungguhnya Allah tidak menganiaya manusia sedikitpun akan tetapi manusia itulah yang menganiaya diri mereka sendiri.' (QS. Yunus : 44).

Itulah sebabnya setiap masalah dan penderitaan yang Allah berikan kepada kita pada dasarnya wujud kasih sayang Allah agar kita bermuhasabah atau instropeksi diri. agar kita melihat dan memperbaiki diri kemudian meningkatkan kualitas hidup kita menjadi lebih baik untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akherat.

Jkt, Agussafii

Kamis, 01 April 2010

Pantaskah Kita Merayakan April Mop ????


Perayaan April Mop yang selalu diakhiri dengan kegembiraan dan kepuasan itu sesungguhnya berawal dari satu tragedi besar yang sangat menyedihkan dan memilukan. April Mop atau The April’s Fool Day berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tahun 1487 atau bertepatan dengan 892 H. Sebelum sampai pada tragedi tersebut, ada baiknya menengok sejarah Spanyol dahulu ketika masih di bawah kekuasaan Islam.

Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-8 M oleh Panglima Thariq bin Ziyad, Spanyol berangsur-angsur tumbuh menjadi satu negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol, namun terus melakukan pembebasan di negeri-negeri sekitar menuju Perancis. Perancis Selatan dengan mudah bisa dibebaskan. Kota Carcassone, Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walau sangat kuat, pasukan Islam masih memberikan toleransi kepada suku Goth dan Navaro di daerah sebelah Barat yang berupa pegunungan.

Islam telah menerangi Spanyol. Karena sikap para penguasa Islam begitu baik dan rendah hati, maka banyak orang-orang Spanyol yang kemudian dengan tulus dan ikhlas memeluk Islam. Muslim Spanyol bukan hanya beragama Islam, namun mereka sungguh-sungguh mempraktekkan kehidupan secara Islami. Mereka tidak hanya membaca Al-Qur'an tapi juga bertingkah laku berdasarkan Al-Qur'an. Mereka selalu berkata tidak untuk musik, bir, pergaulan bebas, dan segala hal yang dilarang Islam. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam abad lamanya.

Selama itu pula kaum kafir yang masih ada di sekeliling Spanyol tanpa kenal lelah terus berupaya membersihkan Islam dari Spanyol, namun mereka selalu gagal. Telah beberapa kali dicoba tapi selalu tidak berhasil. Dikirimlah sejumlah mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam di Spanyol. Akhirnya mata-mata itu menemukan cara untuk menaklukkan Islam di Spanyol, yakni pertama-tama harus melemahkan iman mereka dulu dengan jalan serangan pemikiran dan budaya.

Maka mulailah secara diam-diam mereka mengirim alkohol dan rokok secara gratis ke dalam wilayah Spanyol. Musik diperdengarkan untuk membujuk kaum mudanya agar lebih suka bernyanyi dan menari ketimbang baca Qur’an. Mereka juga mengirim sejumlah ulama palsu yang kerjanya meniup-niupkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-kelamaan upaya ini membuahkan hasil.

Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa dikuasai pasukan Salib. Penyerangan oleh pasukan Salib benar-benar dilakukan dengan kejam tanpa mengenal peri kemanusiaan. Tidak hanya pasukan Islam yang idbantai, juga penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, semuanya dihabisi dengan sadis.

Satu persatu daerah di Spanyol jatuh, Granada adalah daerah terakhir yang ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam di Spanyol (juga disebut orang Moor) terpaksa berlindung di dalam rumah untuk menyelamatkan diri. Tentara-tentara Kristen terus mengejar mereka.

Ketika jalan-jalan sudah sepi, tinggal menyisakan ribuan mayat yang bergelimpangan bermandikan genangan darah, tentara Salib mengetahui bahwa banyak Muslim Granada yang masih bersembunyi di rumah-rumah. Dengan lantang tentara Salib itu meneriakkan pengumuman, bahwa para Muslim Granada bisa keluar dari rumah dengan aman dan diperbolehkan berlayar keluar dari Spanyol dengan membawa barang-barang keperluan mereka. “Kapal-kapal yang akan membawa kalian keluar dari Spanyol sudah kami persiapkan di pelabuhan. Kami menjamin keselamatan kalian jika ingin keluar dari Spanyol, setelah ini maka kami tidak lagi memberikan jaminan!” demikian bujuk tentara Salib.

Orang-orang Islam masih curiga dengan tawaran ini. Beberapa dari orang Islam diperbolehkan melihat sendiri kapal-kapal penumpang yang sudah dipersiapkan di pelabuhan. Setelah benar-benar melihat ada kapal yang sudah dipersiapkan, maka mereka segera bersiap untuk meninggalkan Granada bersama-sama menuju ke kapal-kapal tersebut. Mereka pun bersiap untuk berlayar.

Keesokan harinya, ribuan penduduk Muslim Granada yang keluar dari rumah-rumahnya dengan membawa seluruh barang-barang keperluannya beriringan jalan menuju pelabuhan. Beberapa orang Islam yang tidak mempercayai tentara Salib bertahan dan terus bersembunyi di rumah-rumahnya. Setelah ribuan umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat tentara Salib menggeledah rumah-rumah yang telah itinggalkan penghuninya. Lidah api terlihat menjilat-jilat angkasa ketika para tentara Salib itu membakari rumah-rumah tersebut bersama orang-orang Islam yang masih bertahan di dalamnya.

Sedang ribuan umat Islam yang tertahan di pelabuhan hanya bisa terpana ketika tentara Salib juga membakari kapal-kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol. Kapal-kapal itu dengan cepat tenggelam. Ribuan umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa karena sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga kebanyakan terdiri dari para perempuan dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang tentara Salib itu telah mengepung mereka dengan pedang terhunus.

Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara Salib itu segera membantai dan menghabisi umat Islam Spanyol tanpa perasaan belas kasihan. Jerit tangis dan takbir membahana. Dengan buas tentara Salib terus membunuhi warga sipil yang sama sekali tidak berdaya.

Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 1 April. Inilah yang kemudian diperingati oleh dunia Kristen setiap tanggal 1 April sebagai April Mop (The Aprils Fool Day).

Bagi umat Islam April Mop tentu merupakan tragedi yang sangat menyedihkan. Hari di mana ribuan saudara-saudaranya seiman disembelih dan dibantai oleh tentara Salib di Granada, Spanyol. Sebab itu, adalah sangat tidak pantas jika ada orang Islam yang ikut-ikutan merayakan tradisi ini. Sebab dengan ikut merayakan April Mop, sesungguhnya orang-orang Islam itu ikut bergembira dan tertawa atas tragedi tersebut. Siapa pun orang Islam yang turut merayakan April Mop, maka ia sesungguhnya tengah merayakan ulang tahun pembunuhan massal ribuan saudara-saudaranya di Granada, Spanyol, beberapa abad silam.

(eramuslim)

Rabu, 24 Maret 2010

Apa Yang dimaksud Masjid Al-Aqsha?

Al-Aqsha Dalam Bahaya
Oleh Syeikh Raid Shalah, Ketua Harakah Islam di wilayah Palestina 48

dakwatuna.com – Saya menemukan ketidakpahaman dan ketidaktahuan pada sebagian (besar) umat Islam tentang apa yang dimaksud dengan Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak? berapa luasnya? dan bangunan apa saja yang ada di dalamnya?

Ketidaktahuan Umat tentang hal ini sudah barang tentu merupakan sebuah fenomena yang menyedihkan. Dari banyak perjalanan yang saya lalui, apakah selama menunaikan ibadah Haji, atau keikutsertaan saya dalam konferensi-konferensi Islam, dan interaksi dengan berbagai elemen Umat baik di musim Haji maupun Umrah, saya punya kesimpulan bahwa kaum Muslimin masih memiliki pemahaman yang salah tentang Masjid Al-Aqsha. Sebagian mereka menyangka bahwa Qubah As-Shakhrah (Dome of The Rock atau masjid berkubah kuning emas) adalah Al-Aqsha. Sebagian lagi mengira, bahwa Mushalla Al-Marwani adalah bangunan tersendiri, bukan merupakan bagian dan tidak ada kaitanya sama sekali dengan Al-Aqsha Al-Mubarak. Sebagian lagi bahkan kebingungan ketika mendengar istilah “Al-Aqsha Al-Mubarak” dan istilah “Al-Aqsha Al-Qadim” (Al-Aqsha kuno). Karenanya saya pikir adalah sesuatu yang urgen dan mendesak untuk mengangkat dan menjelaskan permasalahan ini. Karena tidak bisa dianggap wajar jika seorang muslim atau seorang arab ketika dia tidak mengetahu yang mana Al-Aqsha, karena ketidaktahuan terhadap hakikat Masjid Al-Aqsha yang sesungguhnya adalah awal yang memilukan bagi hilangnya Al-Aqsha Al-Mubarak.

Sebaliknya, mengetahui dan memahami dengan baik (hakikat Masjid Al-Aqsha) merupakan prasyarat mutlak demi terwujudnya kesucian, kemuliaan dan kemerdekaan Al-Aqsha Al-Mubarak, meski orang-orang kafir pasti tidak menyukainya. Karena itu, saya bertanya kepada diri saya pribadi dan kepada Kaum Muslimin, “Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan Al-Aqsha Al-Mubarak itu?”

Mujiruddin Al-Hanbali (seorang Alim yang lahir di kota Al-Quds dan merupakan keturunan dari Abdullah bin Umar bin Khathab*) dalam kitabnya An-Anas Al-Jalil (sebuah buku yang secara panjang lebar menerangkan tentang sejarah Baitul Maqdis sejak didirikannya hingga tahun 900 H/1494 M dan merupakan referensi paling lengkap tentang kehidupan ilmiah pada masa Dinasti Ayub dan Raja-raja Mamluk. **Dia katakan: “ Yang populer di kalangan masyarakat bahwa Al-Aqsha dalam konteks kiblat yaitu keseluruhan bangunan di tengah-tengah Masjid yang di dalamnya terdapat mimbar dan mihrab besar. Padahal sesungguhnya yang dimaksud Al-Aqsha adalah sebutan bagi seluruh komplek Masjid yang dibatasi oleh dinding pembatas. Maka bangunan yang terdapat di dalam masjid dan bangunan-bangunan lainnya, seperti Qubbah As-Shakhrah (Dome of The Rock), ruwaq-ruwaq (mihrab-mihrab masjid) dan bangunan-bangunan baru lainnya adalah bangunan-bangunan baru. Dan yang dimaksud dengan Al-Aqsha adalah komplek yang dibatasi oleh dinding pembatas.” Ad-Dubbagh dalam bukunya Al-Quds mengatakan, “ Al-Haram Al-Qadasi (wilayah haram yang suci) terdiri dari dua bangunan masjid; pertama, Masjid Ash-Shakhrah (atau Qubbah Ash-Shakhrah) dan Masjid Al-Aqsha, serta bangunan-bangunan apa saja yang ada disekitarnya, hingga dinding pembatas sekalipun.”
Dengan dasar ini, jelaslah bagi kita bahwa semua kawasan yang ada di dalam batas dinding Al-Aqsha Al-Mubarak adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha Al-Mubarak. Bahkan dindingnya itu sendiri merupakan bagian dari Al-Aqsha. Dalam artian, dinding dan semua pintu gerbang yang ada padanya adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha yang diberkahi. Sebagai contoh, Dinding sebelah Barat adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha, begitu pula dengan Tembok Al-Buraq yang merupakan bagian dari Dinding Barat tersebut adalah juga bagian tak terpisahkan dari masjid Al-Aqsha. Dan Ribath Al-Kurd yang juga bagian dari Dinding Barat, merupakan bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha. Demikian pula dengan semua pintu masuk yang ada di Dinding Barat tersebut seperti Pintu Barat (Bab Al-Magharibah), juga semua bangunan yang ada di Dinding Barat seperti madrasah At-Tankaziyah, semuanya bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha Al-Mubarak. Saya, yakin mayoritas Umat Islam belum mengetahui tentang hakikat ini. Dan adalah kewajiban bagi mereka untuk mengetahuinya. Maka bagi yang telah mengetahui hakikat-hakikat ini akan memahami betul bahwa telah terjadi pelanggaran yang nyata terhadap Al-Aqsha Al-Mubarak hingga saat ini. Seperti, Perombakan dan pengalihfungsian Tembok Al-Buraq yang merupakan bagian dari Al-Aqsha yang sekarang ini terkenal dengan sebutan “Benteng Ratapan” (sebagai bentuk penyesatan makna) adalah salah satu bentuk penistaan yang nyata dan terus-menerus terhadap Al-Aqsha Al-Mubarak. Juga penutupan Pintu Barat (yang merupakan bagian dari Al-Aqsha) yang dilakukan Israel hingga saat ini. Serta pengalihfungsian Madrasah At-Tankaziyah (yang merupakan bagian dari Al-Aqsha) menjadi barak militer Israel hingga saat ini. Semua itu merupakan bentuk-bentuk pelanggaran yang nyata dan berkesinambungan terhadap Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak. Saya ulangi-ulangi sebagai penegasan, dan siapa saja di antara yang masih tidak paham tentang hal ini, sungguh keterlaluan.

Orang yang mengetahui hakikat Al-Aqsha Al-Mubarak maka secara otomatis akan mengetahui apa bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan secara berkesinambungan dan apa saja penistaan-penistaan nyata yang dilakukan terhadap Al-Aqsha. Dan saya ingin katakan, “Bahwa Benteng Timur dan Benteng Utara serta Selatan yang mengelilingi Al-Aqsha Al-Mubarak dengan semua pintu dan bangunan yang ada padanya adalah bagian tak terpisahkan juga dari Al-Aqsha!! Sungguh tragis petaka yang menimpa Masjid Al-Aqsha hingga detik ini jika dilihat pemahaman yang mengantarkan kita kepada hakikat Al-Aqsha Al-Mubarak ini!! Saya juga ingin menegaskan lagi bahwa semua bangunan yang ada di komplek yang dikelilingi oleh tembok pembatas mirip segi empat ini adalah bagian tak terpisahkan juga dari Al-Aqsha Al-Mubarak!! Maka pelataran berpasir yang ditanami pohon Zaitun dan pepohonan lainnya adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha. Tempat aliran air, kubah-kubah, tembok-tembok pembatas, gapura-gapura serta bangunan-bangunan lainnya adalah bagian tak terpisahkan dari Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak. Saya ulangi lagi, bahwa yang mengetahui dan memahami hakikat inilah yang akan mengerti nestapa dan kegelisahan yang menyelimuti Al-Aqsha Al-Mubarak!! Salah satu bangunannya yang terletak di dalam dinding pembatas telah dialihfungsikan menjadi Pos Polisi Zionis hingga saat ini, dan ini bentuk penodaan nyata yang berkesinambungan terhadap Al-Aqsha Al-Mubarak. Demikian pula dengan pelataran tanah yang terletak di antara dinding Al-Aqsha, sebagian orang Zionis, terutama, “Yisrael Hawkins” berupaya membangun Sinagog di atasnya, dan menyatakan secara terang-terangan tentang hal itu. Dan bahkan secara terang-terangan mengatakannya kepada saya tentang rencana ini. Maka saya katakan kepadanya, “ Kalau itu yang kalian rencanakan, maka, (sebenarnya) kalian sedang berusaha untuk menyulut terjadinya perang dunia ketiga karena wilayah ini adalah bagian dari Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak. Dan cukup dengan berpikir untuk membangun Sinagog di atasnya kalian telah melakukan penodaan yang nyata terhadap Al-Aqsha Al-Mubarak!! Termasuk apa yang dilakukan Pemerintah Zionis dengan menutup pintu-pintu yang menjadi akses masuk ke pelataran ini dan bangunan-bangunan yang ada di dalamnya hingga saat ini adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak.

Kemudian ingin saya katakan lagi, seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa As-Shakhrah Al-Musyarafah (Batu yang dimuliakan) adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha Al-Mubarak. Serta Masjid yang dibangun di tengah-tengah komplek Masjid Al-Aqsha Al-Mubarak dari arah Kiblat (yang oleh Umat Islam sering dipahami sebagai masjid Masjid Al-Aqsha (yang sesungguhnya), padahal bukan itu yang dimaksud Masjid Al-Aqsha (yang sesungguhnya), beserta bangunan-bangunan yang terdapat di bawah masjid ini yang kita sebut dengan istilah “ Al-Aqsha Al-Qadim” (Al-Aqsha Kuno) semuanya adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha Al-Mubarak. Begitu pula dengan Mushalla Al-Marwani yang terletak di sebelah tenggara Al-Aqsha adalah juga bagian tak terpisahkan dari Al-Aqsha. Berdasarkan pemahaman ini, maka rencana jahat apapun untuk mengambil atau mengubah Al-Aqsha Al-Qadim dan Mushalla Al-Marwani adalah bentuk konspirasi keji terhadap Al-Aqsha Al-Mubarak. Dan kita bertahun-tahun tertipu, lalu dengan enteng berseloroh, “Demi terciptanya kedamaian, mengapa tidak kita serahkan saja Mushalla Al-Marwani atau Al-Aqsha Al-Qadim kepada orang-orang Yahudi?!”

Saya katakan: Bangkitlah wahai Kaum Muslimin dan bangsa Arab! Pemikiran seperti ini adalah bentuk pelanggaran keji terhadap Al-Aqsha. Benar! Luka begitu menganga, malam terasa panjang, kegelisahan begitu berat, kesabaran dan sumbangsih yang berkesinambungan. Maka keberanian adalah kesabaran sesaat. Dan keyakinanlah yang mengantarkan kita kepada kepemimpinan dalam beragama. Jika kita tahu apa yang telah dipersembahkan, niscaya dengan sangat mudah dan jelas mengetahui (apa yang bisa kita dapatkan), seperti yang dikatakan Ustadz Muhammad Hasan Syarab dalam bukunya “Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsha”: “Masjid Al-Aqsha yang disebut dalam surat Al-Isra’ semuanya adalah Al-Haram Al-Qadasi. Tempat, dimana pahala shalat di sana dilipatgandakan. Di penjuru mana saja di komplek yang dikelilingi pagar tembok itu, apakah di ‘Masjid Al-Aqsha’, atau di Qubbah As-Shakhrah, atau di Musalla Al-Marwani atau bahkan di pelataran berpasir yang berada di dalam komplek yang dibatasi dinding tersebut. Setiap rakaat bernilai sama dengan 500 kali rakaat (dalam riwayat lain 1000 rakaat) shalat di masjid-masjid lainnya, selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Maka kini saatnya, wahai kaum Muslimin dan bangsa Arab, untuk bangkit dari tidur panjangmu. Dan segera tersadar dari kelengahanmu. (hre/PIC/knrp/hdn)

Rabu, 17 Maret 2010

Membaca Kasih Sayang Allah

“Dan Dia (Allah) Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim lagi sangat mengingkari (kufur nikmat)“. (Ibrahim: 34)

Membaca merupakan perintah pertama Allah dalam Al-Qur’an yang ditujukan langsung kepada manusia pilihan-Nya, Rasulullah saw. melalui wahyu pertama ‘Iqra’ (bacalah) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan’ (Al-Alaq: 1). Membaca di sini harus difahami dalam arti yang luas karena memang objek membaca dalam wahyu pertama tersebut tidak dibatasi dan tidak ditentukan; Bacalah! Berarti beragam yang layak dan harus dibaca. Salah satu objek terbesar yang harus dibaca adalah kasih sayang Allah swt. yang terhampar di seluruh jagat raya ini tanpa terkecuali. Semuanya adalah bukti dan tanda kasih sayang Allah swt. untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Untuk itu, ayat di atas hadir untuk mengingatkan manusia akan kasih sayang Allah swt. yang memberikan segala yang dibutuhkan, sekaligus merupakan perintah untuk senantiasa membaca karunia tersebut agar tidak termasuk orang yang zalim, apalagi kufur nikmat seperti yang disebutkan di kalimat terakhir ayat tersebut di atas ‘Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim lagi sangat ingkar nikmat.’

Tentu, ayat ini tidak berdiri sendiri seperti juga seluruh ayat-ayat Al-Quran. Setiap ayat memiliki keterkaitan dan korelasi dengan ayat sebelum atau sesudahnya yang menunjukkan wahdatul Qur’an kesatuan dan kesepaduan ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk ayat di atas ini harus dibaca dengan mengkorelasikannya dengan dua ayat sebelumnya yang menggambarkan sekian banyak dari nikmat Allah swt. yang harus dibaca dengan penuh kesadaran:

“Allahlah Yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air hujan dari langit, Kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia pula telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (Ibrahim: 32-33)

Ayat yang senada dengan ayat di atas dalam bentuk tantangan Allah kepada seluruh makhluk-Nya sekaligus perintahNya untuk membaca hamparan karunia nikmat-Nya yang tiada terhingga adalah surah An-Nahl: 18

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dalam penutup ayat ini Allah swt. hadir dengan dua sifat yang merupakan puncak dari kasih sayang-Nya, yaitu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.

Ibnu Katsir mengungkapkan penafsirannya dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim bahwa selain dari perintah Allah untuk membaca nikmat Allah, pada masa yang sama merupakan sebuah pernyataan akan ketidak berdayaan hamba Allah swt. dalam menghitung nikmat-Nya, apalagi menjalankan kesyukuran karenanya, seperti yang dinyatakan oleh Thalq bin Habib:

“Sesungguhnya hak Allah sangat berat untuk dipenuhi oleh hamba-Nya. Demikian juga nikmat Allah begitu banyak untuk disyukuri oleh hamba-Nya. Karenanya mereka harus bertaubat siang dan malam.”

Membaca kasih sayang Allah merupakan langkah awal mensyukuri nikmat-Nya. Untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan syukur nikmat, paling tidak terdapat empat langkah yang harus dipenuhinya: pertama, Mengekpresikan kegembiraan dengan kehadiran nikmat tersebut. Kedua, Mengapresiasikan rasa syukur atas nikmat tersebut dengan ungkapan lisan dalam bentuk pujian. Ketiga, membangun komitmen dengan memelihara dan memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Sang Pemberi nikmat. Keempat, Mengembangkan dan memberdayakannya agar melahirkan kenikmatan yang lebih besar di masa yang akan datang sesuai dengan janji Allah swt. dalam firman-Nya:

“Jika kalian bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku kepadamu.” (Ibrahim: 7) Di sini kesyukuran justru diuji apakah dapat membuahkan kenikmatan yang lain atau malah sebaliknya, menghalangi hadirnya nikmat Allah swt. dalam bentuk yang lainnya.

Ternyata memang mega proyek Iblis terhadap manusia adalah bagaimana menjauhkannya dari kasih sayang Allah swt. sehingga mereka senantiasa hanya membaca ujian dan cobaan yang menimpanya agar mereka tidak termasuk kedalam golongan yang mensyukuri nikmat-Nya. Padahal secara jujur, kasih sayang Allah swt. dalam bentuk anugerah nikmat-Nya pasti jauh lebih besar daripada ujian maupun sanksi-Nya. Di sini, kelemahan manusia membaca nikmat merupakan keberhasilan proyek iblis menyesatkan manusia. Allah menceritakan tentang proyek

Iblis dalam firman-Nya:

“Iblis menjawab: “Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.“ (Al-A’raf: 16-17)

Dalam konteks ini, sungguh usaha dan kerja Iblis tidak main-main. Ia akan memperdaya manusia dari seluruh segmentasi dan celah kehidupannya tanpa terkecuali. Dalam bahasa Prof. Mutawalli Sya’rawi, “Syaitan akan datang kepada manusia dari titik lemahnya (ya’tisy Syaithan min nuqthah dha’f lil insan).” Jika manusia kuat dari aspek harta, maka ia akan datang melalui pintu wanita. Jika ia kuat pada pintu wanita, ia akan datang dari pintu jabatan dan begitu seterusnya tanpa henti. Sehingga akhirnya hanya segelintir manusia yang akan selamat dari bujuk rayu syetan dan menjadi pribadi yang bersyukur. Allah swt. pernah berpesan kepada Nabi Daud dan keluarga-Nya agar mewaspadai hal tersebut dalam firman-Nya: “Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih (bersyukur).“ (Saba’: 13)

Memang hanya sedikit sekali yang cerdas dan bijak membaca kasih sayang Allah swt. Selebihnya adalah manusia yang suka berkeluh kesah, mengeluh dan tidak bersyukur atas karunia nikmat yang ada. Bahkan kerap menyalahkan orang lain, su’uzhan dan berprasangka buruk kepada Allah. Padahal kebaikan dan pahala sikap syukur itu akan kembali kepada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain. Karenanya ujian kesyukuran itu akan terus menyertai manusia sampai Allah benar-benar tahu siapa yang bersyukur diantara hamba-Nya dan siapa di antara mereka yang kufur. ‘Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan yang sedikit.‘ Allahu a’lam

Sumber: dakwatuna.com
Oleh    : Dr. Attabiq Luthfi, MA